Jumat, 06 November 2015

Pahawang Part I: The Style Of Frog Seeker

by Ari Rohmawati


Setelah berulang kali gagal akhirnya aku pergi juga ke Pahawang, sebuah area bawah laut tempat snorkling paling diminati di Provinsi Lampung saat ini. Aku pergi bersama kedua temanku, Ratna dan Purwa. Begitu antusiasnya kami sehingga tidur larut malam demi menyiapkan perbekalan untuk esok.  Bukan kaca mata renang, kaki katak, atau jaket pelampung tapi makanan ringan sebanyak dua plastik kantong asoi ukuran besar.  
Esoknya, aku mandi pagi bahkan sebelum adzan Subuh berkumandang, sedangkan Ratna hampir tidak mandi pagi karena takut menyia-nyiakan air laut yang melimpah. Lain halnya dengan Purwa, bukannya mandi, dia khusyuk membaca Al Quran hampir satu juz setelah sholat subuh. Mungkin sebagai bentuk permohonannya kepada Sang Rabb agar kami para amatir ini dapat pulang dengan selamat.
Setelah selesai berkemas-kemas,  kami keluar kamar bersamaan. Betapa kagetnya bahwa Ratna memakai kaos dan kerudung bewarna kuning yang nampaknya bakal sukses menggaet para ikan di laut untuk mengerubunginya. Lain halnya dengan Purwa sang ustadzah yang tetap menggunakan kerudung lebar dan rok panjangnya, sedangkan aku seperti ibu-ibu PKK yang mau aerobik lengkap dengan sepatu kets.  Pokoknya slogan “be my self” rupanya telah mendarah daging di diri kami tanpa tergoyahkan. Bahkan lebih parahnya kami merasa seperti pembawa acara traveler cantik di Trans 7.
Dengan kecepatan 100 Km/jam, kami menembus kabut asap dari Palembang yang telah sampai ke Lampung. Tidak peduli dengan polisi tidur yang terbaring manja di jalan-jalan sempit. Kami mengendarai motor matic sambil membayangkan Rossi melaju di Kota Sepang, Malaysia. Alhasil kami sampai di lokasi start, Pelabuhan Ketapang tepat pukul tujuh pagi.  Sedikit bingung mencari pemandu trip yang katanya namanya Rendi, aku pun menelponnya.
“Aduh, kok pagi amat Mbak,  tripnya mulai jam delapan. Aku masih di jalan.”
Glekk.
Sembari menunggu pemandu trip kami yang kabarnya memunyai tubuh sehat sentosa, kami pun duduk-duduk di depan rumah seorang warga yang akan menyediakan berbagai peralatan snorkling. Sang ibu pemilik rumah langsung menyuruh kami berganti pakaian.
“Kami sudah ganti kok bu, ini.”
Ibu itu memandang kami dari atas sampai bawah sambil menelan ludah. Terbelalak. Mungkin di dalam benak beliau kami lebih mirip ibu-ibu guru mau mengajar agama dan olahraga.
Lima belas menit kemudian Rendi pun datang. Namanya Rendi. Warna kulitnya coklat tua, rambutnya bewarna coklat dan merah, dengan celana pendek loreng-loreng mirip TNI,  stylish, dan mirip sekali dengan Uya Kuya.
“Sory, tunggu dulu ya Kak. Kita start jam delapan.”
“Oke.”
Lima belas menit kemudian Rendi menghampiri kami sambil memegang sepiring nasi uduk dengan mulut penuh kerupuk.
“Sekali lagi sory ya Kak.”
“Oke santai aja.”
“Salin aja dulu, Kak.” Rendi melenggang pergi ke dalam rumah.
Kami bertiga bertatapan lagi.
Beberapa menit kemudian ibu pemilik rumah keluar sambil membawa tiga gelas teh panas.
“Minum Mbak.”
“Iya bu. Terima kasih.”
“Mbak yakin nggak mau salin?”
“Enggak bu. Emang biasanya yang mau snorkling salin pakai baju apa bu?”, tanyaku penasaran. Ibu itu hanya tersenyum.
“Beberapa menit kemudian Rendi menghampiri kami lagi tanpa piring nasi uduknya.
“Loh kok belum ganti baju, Kak?”
“Ini the best of the best pakaian snorkling yang kami kenakan loh Ren.”
Ekspresi wajah Rendi seketika juga berubah. Bahkan aku sepertinya juga mendengarnya menelan ludah.
“Oke deh Kak, kalau begitu langsung milih perlengkapan snorkling aja di dalam.” Dia tampak menyerah karena tidak berhasil mengubah pendirian tentang dresscode snorkling yang kami gunakan.
Dengan riang hati, kami pun melangkahkan kaki ke dalam rumah si ibu pemilik perlengkapan snorkling. Sesampainya di dalam rumah, kami terpana dengan bertumpuk-tumpuk jaket pelampung, sepatu katak, dan kacamata renang. Melihat ekspresi terkagum-kagum kami, seorang bapak-bapak menghampiri kami. Lalu membantu memilihkan dan mengajarkan cara memakainya. Seperti seorang anak kecil yang baru mendapat mainan baru, kami pun bersorak-sorai memakainya kecuai sepatu katak karena membuat jalan kami tersandung-sandung di pasir.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan tapi trip perjalanan belum juga dimulai. Kami hampir kebosanan duduk di bawah pohon jambu. Hingga datanglah Rendi kembali.
“Sini Kak, kita briefieng dulu. Ini tim kita.”
Lalu muncullah delapan orang pria dengan kaos dan celana pendek serba hitam, memakai kaca mata hitam, dan rambut jigrak-jigrak seperti anggota FBI di film-film holywood. Berkali-kali memandangi mereka lalu memandangi diri kami sendiri. Para pemeran guru agama dan guru olahraga di antara para anggota FBI, serta satu pemandu trip yang yang mirip Uya Kuya. Great. Trip kali ini layak diberi judul “Penggrebegan Tiga Gadis yang Terlalu Percaya Diri di Tengah Lautan.”
Setelah briefing dan berdoa bersama, perjalanan pun dimulai. Kami naik kapal kayu bermesin. Semua duduk dengan gembira, makan cemilan, dan menikmati pemandangan yang ditumbuhi vegetasi tumbuhan kelapa, bakau, dan tumbuha-tumbuhan perdu lainnya di sepanjang pulau kosong yang dilewati. Setelah tiga puluh menit kapal menembus lautan, kapal pun berhenti. Di spot itu ternyata sudah ada juga tim dari kapal lain. Tim dari kapal sebelah itulah yang menjawab pertanyaan dalam benak kami tadi. Para peserta perempuannya menggunakan baju renang sangat minim yang hanya menutupi dada dan bagian bawah.
“Subhanallah.”
“Masyaallah.”
Suara pujian keluar bersamaan dari mulut para pria-pria FBI.
“Putri Duyung.”
“Wes, wes, nambah semangat neh.Ayo nyebur, nyebur.”
Tanpa diberi aba-aba semua mengenakan perlengkapan snorkling. Lalu terjun ke laut satu per satu. Dengan penuh percaya diri kami pun terjun ke lautan tanpa menyadari bahwa ini pengalaman pertamaku serta dengan kemampuan berenang di bawah standar.
BYURR
Aku dan Ratna langsung terombang-ambing dikendalikan oleh jaket pelampung dan gelombang laut, sedangkan Purwa yang biasa berenang di sungai dekat rumahnya berenang bagaikan ikan. “Sluuuup” bergerak kesana kemari. Lalu tiba-tiba melepas jaket pelampungnya dan menyelam ke dasar laut. Aku dan Ratna terbengong.
Tak cukup terombang-ambing karena kekuatan jaket orange, pengendalian atas gerak snorkling yang mambabi buta ini harus dibayar dengan berulang kali masuk ke dalam rok Purwa. Great.
Hingga pada menit berikutnya, akhirnya aku dapat mengendalikan jaket pelampung, badanku menghadap ke bawah dengan tenang, nafas dengan teratur melalui mulut, kemudian pandangan mata kumasukkan ke dalam air dan woowww banyak terumbu karang dan wowwww ikan kecil bewarna-warni seakan merayakan keberhasilanku menaklukkan jaket pelampung. Namun,  tanpa kusadari aku sampai ke kumpulan para pria-pria FBI. Lalu sebagai seorang amatir harus berulang kali menabrak entah siapa dan mengacaukan sesi pengambilan foto bawah air mereka.
Lalu tibalah pada titik aku menemukan lokasi snorklingku sendiri yang tidak akan mengganggu siapapun. Gelombang laut yang bersahabat serta jaket pelampung yang mudah dikendalikan. Inilah saat paling nikmat untuk melihat keindahan bawah laut. Saat semua begitu sempurna tiba-tiba, “Mbak lagi apa? Nyari katak ya?”.
“Kalau nyari katak di pohon Mbak.”
“Hahahaha”.
Begitulah seterusnya hingga spot snorkling kelima tanpa diketahui siapa pelakunya dan sialnya hingga terlampaui Pahawang Besar, Pahawang Kecil, Kelapa 60, Cukuh Bedil, dan Klagian, ucapan mereka memang benar kalau gaya snorklingku, sangat aneh. Diam dan seperti bapak-bapak tua yang memegang lampu petromaks yang lagi mengendus-endus, mirip seperti pencari katak.
Pringsewu, 3 November 2015
ari_rohmawati@ymail.com

Mansfield Park, The Literature Reference

                                                                             by
Ari Rohmawati

Judul Buku                  : Mansfield Park
Pengarang                   : Jane Austen
Penerbit                       : Qanita, PT Mizan Pustaka
Tahun                          : 2015
Jumlah Halaman          : 620 hlm
Tebal Halaman            : 20, 5 cm
                       
Mansfield Park menceritakan sebuah kisah cinta seorang gadis bernama Fanny. Sejak usia sembilan tahun, dia tinggal bersama paman dan bibinya di sebuah desa di kawasan Mansfield Park. Seiring berjalannya waktu, Fanny menyayangi Edmun lebih dari sekadar kakak sepupu tetapi sayangnya Edmun jatuh hati kepada seorang wanita bangsawan yang bernama Mary. Saat itulah Henry tergoda untuk menaklukkan hati Fanny. Kegigihan Henry hampir saja membuatnya membuka hatinya. Namun, sayangnya sebuah skandal besar menimpa kedua anak perempuan paman dan bibinya yang melibatkan Henry. Kejadian inilah yang akhirnya membuka mata Edmun bahwa Fanny benar-benar  perempuan yang memiliki prinsip teguh di antara berbagai peristiwa yang terjadi di keluarga Mansfield Park dan satu-satunya orang yang menerima segala keluh kesahnya selama ini. Pandangan Edmun inilah yang kemudian meyakinkannya untuk menikahi Fanny.

Kurang lebih dua ratus halaman pertama pada novel ini hanyalah sebuah deskripsi-deskripsi dengan alur yang sangat datar. Pembaca yang tidak setia pasti akan merasa membuang waktu sia-sia membacanya. Namun, pada lembar-lembar berikutnya, Jane Austen seperti memberikan jiwa pada setiap narasinya. Imajinasi pembaca akan diperkenalkan dengan sikap Edmun yang lembut, sopan, dan kesatria; diperkenalkan dengan Fanny yang rapuh, penurut, dan tumbuh menjadi wanita cantik nan lembut, serta Henry seorang bangsawan kaya yang gigih menaklukkan hati Fanny. Daya pesona novel ini pun bisa dirasakan pembaca ketika Austen memaparkan narasinya yang seperlunya tanpa deskripsi panjang berupa detail-detail penjelasan yang tidak perlu. Kemudian penyelesaian konflik pada novel ini pun sangat mengejutkan membuat para pembaca yang terlanjur jatuh cinta kepada Henry sangat kecewa. Henry yang pada awalnya merasa tertantang untuk menaklukkan hati Fanny tiba-tiba jatuh kepada perangkapnya sendiri. Dia jatuh hati kepada Fanny. Henry dengan segala pesonanya berusaha mengambil hati Fanny dan keluarganya dengan sikapnya yang sangat terhormat. Sampai akhirnya sebuah skandal besar terjadi antara Henry dan Maria, adik perempuan Edmun. Pada bagian cerita inilah, pembaca seperti benar-benar dihempaskan pada kekecewaan yang sangat mendalam terhadap tokoh Henry. Austen telah berhasil menyihir pembaca dengan kehormatan dan kesantunan Henry dalam memperjuangkan cintanya serta sikap membaranya mendapatkan cinta Fanny tetapi sikapnya yang tertatang untuk mendapatkan Maria seorang wanita yang telah bersuami membuatnya terbakar atas permainannya sendiri. Cinta Maria kepada Henry ternyata sangat besar lebih dari dugaannya, sedangkan Henry yang sedang dalam masa menunggu Fanny merasa telah dibangkitkan rasa percaya dirinya dalam menaklukkan wanita. Tokoh Edmun sendiri dalam novel ini sangatlah konsisten. Sebagai seorang pria bangsawan, tokoh Edmun memiliki sifat yang bijak, lembut, tetapi terkadang tidak tegas atas perasaannya. Karakter yang sangat bertolak belakang dengan Henry. Kareakter ini membuat pembaca merasa “gregetan” atas sikap plin-plannya.

Austen berhasil menghadirkan sebuah cerita yang sangat sopan. Austen membebaskan pembaca melanjutkan dan menafsirkan beberapa kejadian besar serta skandal yang terjadi. Bahasanya begitu santun dapat dipahami dari berbagai kalangan, generasi, dan lintas budaya. Mansfield Park juga menyuguhkan betapa bertolak belakangnya kehidupan antara kaum bangsawan dengan keluarga dari golongan rendahan. Perbedaan itu meliputi gaya hidup, cara berpendapat, etika antar anggota keluarga, rutinitas keseharian, hingga topik pembicaraan sehari-hari.
Mansfield Park juga memberitahukan bahwa ada perlakuan yang berbeda antara golongan bangsawan dengan keluarga rendahan. Austen menggambarkan sikap saudara-saudara perempuan Edmun serta Bibi Norris yang menganggap rendah Fanny yang berasal dari keluarga miskin. Fanny yang sebenarnya cerdas hanya terlihat sebagai gadis rapuh, pemalu, dan pendiam karena selalu berada pada posisi tidak pantas ikut serta. Akhirnya, Mansfield Park memang layak menjadi referensi bagi para penulis roman pemula yang ingin tetap sopan dan menghadirkan berbagai kisah cinta dalam karyanya.

Pringsewu, 20 Oktober 2015