by Ari Rohmawati
Setelah berulang kali gagal akhirnya aku pergi juga ke Pahawang, sebuah area bawah laut tempat snorkling paling diminati di Provinsi Lampung saat ini. Aku pergi bersama kedua temanku, Ratna dan Purwa. Begitu antusiasnya kami sehingga tidur larut malam demi menyiapkan perbekalan untuk esok. Bukan kaca mata renang, kaki katak, atau jaket pelampung tapi makanan ringan sebanyak dua plastik kantong asoi ukuran besar.
Esoknya, aku mandi pagi bahkan sebelum
adzan Subuh berkumandang, sedangkan Ratna hampir tidak mandi pagi karena takut menyia-nyiakan
air laut yang melimpah. Lain halnya dengan Purwa, bukannya mandi, dia khusyuk membaca
Al Quran hampir satu juz setelah sholat subuh. Mungkin sebagai bentuk permohonannya
kepada Sang Rabb agar kami para amatir ini dapat pulang dengan selamat.
Setelah selesai
berkemas-kemas, kami keluar kamar
bersamaan. Betapa kagetnya bahwa Ratna memakai kaos dan kerudung bewarna kuning
yang nampaknya bakal sukses menggaet para ikan di laut untuk mengerubunginya.
Lain halnya dengan Purwa sang ustadzah yang tetap menggunakan kerudung lebar dan
rok panjangnya, sedangkan aku seperti ibu-ibu PKK yang mau aerobik lengkap
dengan sepatu kets. Pokoknya slogan “be
my self” rupanya telah mendarah daging di diri kami tanpa tergoyahkan. Bahkan
lebih parahnya kami merasa seperti pembawa acara traveler cantik di Trans 7.
Dengan kecepatan 100 Km/jam, kami
menembus kabut asap dari Palembang yang telah sampai ke Lampung. Tidak peduli
dengan polisi tidur yang terbaring manja di jalan-jalan sempit. Kami
mengendarai motor matic sambil
membayangkan Rossi melaju di Kota Sepang, Malaysia. Alhasil kami sampai di
lokasi start, Pelabuhan Ketapang
tepat pukul tujuh pagi. Sedikit bingung
mencari pemandu trip yang katanya namanya Rendi, aku pun menelponnya.
“Aduh, kok pagi amat Mbak, tripnya mulai jam delapan. Aku masih di
jalan.”
Glekk.
Sembari menunggu pemandu trip
kami yang kabarnya memunyai tubuh sehat sentosa, kami pun duduk-duduk di depan
rumah seorang warga yang akan menyediakan berbagai peralatan snorkling. Sang ibu pemilik rumah
langsung menyuruh kami berganti pakaian.
“Kami sudah ganti kok bu, ini.”
Ibu itu memandang kami dari atas
sampai bawah sambil menelan ludah. Terbelalak. Mungkin di dalam benak beliau
kami lebih mirip ibu-ibu guru mau mengajar agama dan olahraga.
Lima belas menit kemudian Rendi pun
datang. Namanya Rendi. Warna kulitnya coklat tua, rambutnya bewarna coklat dan
merah, dengan celana pendek loreng-loreng mirip TNI, stylish,
dan mirip sekali dengan Uya Kuya.
“Sory, tunggu dulu ya Kak. Kita start jam delapan.”
“Oke.”
Lima belas menit kemudian Rendi
menghampiri kami sambil memegang sepiring nasi uduk dengan mulut penuh kerupuk.
“Sekali lagi sory ya Kak.”
“Oke santai aja.”
“Salin aja dulu, Kak.” Rendi
melenggang pergi ke dalam rumah.
Kami bertiga bertatapan lagi.
Beberapa menit kemudian ibu
pemilik rumah keluar sambil membawa tiga gelas teh panas.
“Minum Mbak.”
“Iya bu. Terima kasih.”
“Mbak yakin nggak mau salin?”
“Enggak bu. Emang biasanya yang
mau snorkling salin pakai baju apa bu?”, tanyaku penasaran. Ibu itu hanya
tersenyum.
“Beberapa menit kemudian Rendi
menghampiri kami lagi tanpa piring nasi uduknya.
“Loh kok belum ganti baju, Kak?”
“Ini the best of the best pakaian snorkling
yang kami kenakan loh Ren.”
Ekspresi wajah Rendi seketika
juga berubah. Bahkan aku sepertinya juga mendengarnya menelan ludah.
“Oke deh Kak, kalau begitu
langsung milih perlengkapan snorkling
aja di dalam.” Dia tampak menyerah karena tidak berhasil mengubah pendirian
tentang dresscode snorkling yang kami
gunakan.
Dengan riang hati, kami pun
melangkahkan kaki ke dalam rumah si ibu pemilik perlengkapan snorkling. Sesampainya di dalam rumah,
kami terpana dengan bertumpuk-tumpuk jaket pelampung, sepatu katak, dan
kacamata renang. Melihat ekspresi terkagum-kagum kami, seorang bapak-bapak
menghampiri kami. Lalu membantu memilihkan dan mengajarkan cara memakainya.
Seperti seorang anak kecil yang baru mendapat mainan baru, kami pun bersorak-sorai
memakainya kecuai sepatu katak karena membuat jalan kami tersandung-sandung di
pasir.
Jam sudah menunjukkan pukul
delapan tapi trip perjalanan belum juga dimulai. Kami hampir kebosanan duduk di
bawah pohon jambu. Hingga datanglah Rendi kembali.
“Sini Kak, kita briefieng dulu. Ini tim kita.”
Lalu muncullah delapan orang pria
dengan kaos dan celana pendek serba hitam, memakai kaca mata hitam, dan rambut
jigrak-jigrak seperti anggota FBI di film-film holywood. Berkali-kali
memandangi mereka lalu memandangi diri kami sendiri. Para pemeran guru agama
dan guru olahraga di antara para anggota FBI, serta satu pemandu trip yang yang
mirip Uya Kuya. Great. Trip kali ini layak diberi judul “Penggrebegan Tiga
Gadis yang Terlalu Percaya Diri di Tengah Lautan.”
Setelah briefing dan berdoa bersama, perjalanan pun dimulai. Kami naik
kapal kayu bermesin. Semua duduk dengan gembira, makan cemilan, dan menikmati
pemandangan yang ditumbuhi vegetasi tumbuhan kelapa, bakau, dan
tumbuha-tumbuhan perdu lainnya di sepanjang pulau kosong yang dilewati. Setelah
tiga puluh menit kapal menembus lautan, kapal pun berhenti. Di spot itu
ternyata sudah ada juga tim dari kapal lain. Tim dari kapal sebelah itulah yang
menjawab pertanyaan dalam benak kami tadi. Para peserta perempuannya
menggunakan baju renang sangat minim yang hanya menutupi dada dan bagian bawah.
“Subhanallah.”
“Masyaallah.”
Suara pujian keluar bersamaan
dari mulut para pria-pria FBI.
“Putri Duyung.”
“Wes, wes, nambah semangat
neh.Ayo nyebur, nyebur.”
Tanpa diberi aba-aba semua mengenakan
perlengkapan snorkling. Lalu terjun
ke laut satu per satu. Dengan penuh percaya diri kami pun terjun ke lautan
tanpa menyadari bahwa ini pengalaman pertamaku serta dengan kemampuan berenang
di bawah standar.
BYURR
Aku dan Ratna langsung terombang-ambing
dikendalikan oleh jaket pelampung dan gelombang laut, sedangkan Purwa yang
biasa berenang di sungai dekat rumahnya berenang bagaikan ikan. “Sluuuup”
bergerak kesana kemari. Lalu tiba-tiba melepas jaket pelampungnya dan menyelam
ke dasar laut. Aku dan Ratna terbengong.
Tak cukup terombang-ambing karena
kekuatan jaket orange, pengendalian
atas gerak snorkling yang mambabi
buta ini harus dibayar dengan berulang kali masuk ke dalam rok Purwa. Great.
Hingga pada menit berikutnya,
akhirnya aku dapat mengendalikan jaket pelampung, badanku menghadap ke bawah
dengan tenang, nafas dengan teratur melalui mulut, kemudian pandangan mata
kumasukkan ke dalam air dan woowww banyak terumbu karang dan wowwww ikan kecil
bewarna-warni seakan merayakan keberhasilanku menaklukkan jaket pelampung. Namun,
tanpa kusadari aku sampai ke kumpulan
para pria-pria FBI. Lalu sebagai seorang amatir harus berulang kali menabrak
entah siapa dan mengacaukan sesi pengambilan foto bawah air mereka.
Lalu tibalah pada titik aku menemukan
lokasi snorklingku sendiri yang tidak
akan mengganggu siapapun. Gelombang laut yang bersahabat serta jaket pelampung
yang mudah dikendalikan. Inilah saat paling nikmat untuk melihat keindahan
bawah laut. Saat semua begitu sempurna tiba-tiba, “Mbak lagi apa? Nyari katak
ya?”.
“Kalau nyari katak di pohon
Mbak.”
“Hahahaha”.
Begitulah seterusnya hingga spot
snorkling kelima tanpa diketahui siapa pelakunya dan sialnya hingga terlampaui Pahawang
Besar, Pahawang Kecil, Kelapa 60, Cukuh Bedil, dan Klagian, ucapan mereka
memang benar kalau gaya snorklingku, sangat aneh. Diam dan seperti bapak-bapak
tua yang memegang lampu petromaks yang lagi mengendus-endus, mirip seperti pencari
katak.
Pringsewu, 3 November 2015
ari_rohmawati@ymail.com